Freinds, ini dia dua surat yang terpilih dalam kuis 'surat untuk ibu'.
Bagi yang sudah bergabung terimakasih untuk keikutsertaannya. Jangan kapok untuk ikutan lagi ya.
Congrats untuk surat yang terpilih.
Meskipun hari ibu sudah berlalu, semoga bacaan ini bisa tetap kalian nikmati.
Happy reading. :)
salam
dil.se
***
Terpilih 1
by Leanita Winandari
Selamat malam, Ibuku sayang. Mungkin surat ini takkan pernah sampai padamu, takkan terbaca meski hanya segaris kalimat. Bukannya tak ada jalan untuk mewujudkannya, hanya saja aku terlalu malu—atau tepatnya gengsi—untuk menyerahkannya padamu, membiarkan kau membacanya.
Dua puluh tiga tahun lebih lima bulan. Dan selama itu kita berbagi udara yang sama, berpijak di bumi yang sama. Waktu sudah jauh berjalan, bukan? Aku sendiri merasa demikian. Ini terlalu cepat.
Selama ini, kita memang tidak bisa dibilang punya hubungan yang intim. Semua berjalan biasa-biasa saja, seolah ini hanya sebuah keniscayaan yang harus kita terima. Kita terlalu jarang berbagi cerita. Selepas melakukan aktivitas di luar seharian, aku tak pernah bercerita padamu bagaimana hariku. Aku tahu, kau berharap aku duduk di sampingmu dan memulai cerita. Tapi satu-satunya kalimat yang sering meluncur dari bibirku adalah: aku capek. Dan kamu diam, mengerti bahwa apa yang kulakukan di luar hampir menguras seluruh tenaga yang kumiliki. Aku pun pergi ke kamar mandi, kemudian masuk kamar, membaca buku, lalu tidur sekitar pukul sebelas malam. Begitu setiap harinya. Pun di hari libur, kegiatanku hanya itu-itu saja: membersihkan kamar, mencuci baju, membaca buku, menonton DVD, menulis sebentar dan tidur.
Hanya sedikit waktu yang kuluangkan bersamamu. Terkadang aku ingin merubah semua, melakukan hal di luar kebiasaan. Ah ya, tapi setiap perubahan membutuhkan pengorbanan. Dan sampai sekarang, aku belum sanggup mengorbankannya. Tapi aku bersyukur, di luar waktu-waktu yang belum kumiliki itu, kita masih bisa pergi berbelanja ke pasar di Minggu pagi dan sesekali menemanimu memasak di dapur sebelum aku berangkat kerja.
Sepertinya, memang ada waktu yang khusus yang bisa kita nikmati sendiri dan bersama.
Ibu, apa kau ingat saat pertama kali kau bercerita tentang sebuah negara yang terletak di bawah permukaan air laut? Saat itu, aku masih berusia enam tahun, hanya dua tahun sebelum aku membuka buku Sejarah Nasional Republik Indonesia. Mereka 'mengeringkan' air laut, membangun bendungan besar dan kanal-kanal untuk mengalirkan air-air laut agar tak meluap dan membanjiri tanah mereka yang baru. Aku diam sambil mendengarmu bercerita, bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana mungkin mereka melakukan semua itu. Tanpa kausadari, saat itu kau menumbuhkan sebuah impian yang bahkan bertahan hingga saat ini. Suatu saat, aku harus menginjakkan kakiku di sana. Melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa bendungan yang terbentang di sepanjang pesisirnya.
Rasanya menyenangkan sekali memiliki satu mimpi yang bertahan sementara mimpi-mimpi yang lain harus atau terpaksa kulepas. Saat beberapa tahun yang lalu aku mengatakannya padamu, kamu hanya menganggapinya dengan dingin. Tapi satu hal yang kuyakini: di sana, di dalam hatimu, ada sebuah doa yang tak pernah kudengar. Ya, Ibu, aku tahu. Kau mengamini setiap cita-citaku, mimpi-mimpi absurd-ku meski semua itu terlihat tidak mungkin. Aku tahu, selama aku percaya pada mimpi-mimpiku, selama itu juga kau akan terus mengamininya.
Ibu, mungkin kau masih bertanya-tanya tentang kejadian Juni tahun lalu. Kau hanya tahu setengahnya, itu pun bukan diriku sendiri yang bercerita. Kau tahu tanpa sengaja tiga bulan setelahnya. Dan saat kau mencoba mengorek keterangan dariku, aku justru bungkam. Bukannya aku tak mau berbagi denganmu. Hanya saja, aku tidak mau membicarakannya—sampai sekarang pun, tidak. Aku merasa lebih nyaman berbagi dengan sebuah notebook, atau sedikit berbagi di blog pribadi. Maafkan aku untuk hal ini. Bukannya aku tak percaya padamu, tapi lebih kepada rasa tidak inginku untuk berbagi hal-tidak-menyenangkan padamu. Kurasa, kau tahu dari mana aku mendapatkan sifat ini. Darimu, tentu saja.
Ah, sudahlah. Kurasa ini bukan hal yang patut diperbincangkan di sini. Toh, seperti kataku tadi, aku tak mau membicarakannya lagi. Soal mengenang, itu persoalan lain. Bukankah kita tidak bisa memilih kepingan memori mana yang tiba-tiba menyeruak dan memaksa untuk diingat?
Ibu, aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan bahwa aku sungguh bersyukur memiliki ibu sepertimu. Kau tak pernah mengeluh ketika aku tiba-tiba diserang rasa malas, dan kau terpaksa mengambil alih pekerjaan rumah yang semestinya menjadi kewajibanku pada setiap hari libur. Kau juga tak pernah mengomel jika pada satu dini hari yang dingin aku membuatmu terjaga dari lelap karena teriakan spontanku ketika menonton pertandingan sepakbola. Aku bersyukur karena kau selalu ada di sampingku di saat-saat sulit, sementara yang lain justru berjalan menjauh.
Ibu, aku tahu, ini takkan cukup mewakili seluruh kata yang berjejalan di otakku. Tapi aku cuma ingin kau tahu, Ibu. Meski mungkin takkan bisa sebesar kasih sayangmu padaku, aku begitu menyayangimu. Dan sampai kapan pun, aku terus berusaha membuatmu tersenyum.
Selamat malam... :)
P.S: Kau tahu? Aku selalu memimpikan satu hari bersamamu di Lisse. Keukenhof, Ibu. Tempat terindah di dunia pada saat musim semi. Kita bisa melihat hamparan tulip dan daffodil dengan bermacam-macam jenis dan warna. Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa aku ingin melewatkannya bersamamu. Aku pecinta musim gugur, Ibu. Tapi setiap meliat bunga merekah, aku selalu bisa mengingat senyummu. Dan kau pasti ingat, kau lah yang mengajariku berkebun dan menyayangi bebungaan di setiap sudut halaman rumah kita saat aku kecil.
***
Terpilih 2
by Sri Sulistyowati
Dear, Mom
Hai ibu, sudah berapa lama kita tidak bertemu? Coba aku hitung mundur, sekarang aku sudah lulus kuliah dan sedang berjuang mencari pekerjaan yang susahnya minta ampun. Ketika kau pergi aku masih duduk di kelas tiga SMA dan sekarang aku tepat berusia 23 tahun! hmmm, hampir lima tahun lah, rasa kangen sudah tidak dapat ditampung lagi, sudah meleber kemana-mana.
Banyak sekali yang kau lewatkan selama kau pergi, salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kau melewatkan masa pertumbuhan anak-anakmu. Kau tidak melihat kakak lulus kuliah, bekerja yang gajinya bikin iri. Kau tidak melihat aku lulus SMA dimana sepanjang aku sekolah, masa itulah aku benar-benar serius sekolah, belajar mati-matian, les di beberapa tempat sekaligus, selalu pulang sore, tidak ada waktu bermain, itu semua demi membuatmu bangga, aku tidak ingin mengecewakanmu. Kau juga tidak melihat aku kuliah sampai lulus. Dan yang terpenting, kau melewatkan pertumbuhan anak kesayanganmu, adik lelakiku yang selalu kau cari-cari ketika hampir magrib dia tidak pulang-pulang. Dia tetap bandel, masih suka maen sampai sore bahkan tidak jarang sampai malam, dia hampir mau lulus STM. Aku jadi kangen dengan kecerewetanmu dalam menyuruh dia di rumah. Dengan “jam dolannya” yang lumayan padat, aku bersyukur dia tidak lepas kendali, ibu.
Aku sadar aku bukan anak yang baik, suka membantah perkataanmu, selalu menunda-nunda bila kau suruh mengerjakan sesuatu, aku bukan masuk anak teladan, anak impian setiap orang tua. Aku benci ketika kau membanding-bandingan aku dengan anak tetangga kita yang kau sebut sebagai panutan. Aku tidak suka bila disama-samakan dengan orang lain, semakin kau menuntut, aku akan semakin melawan. Yah, mungkin itu bagian dari proses pendewasaan karena waktu itu aku masih remaja, masih mencari jati diri, atau lebih tepatnya aku ingin menjadi diriku sendiri. Aku tahu kau ingin aku menjadi anak yang rajin, pandai, baik, anak emas di mata keluarga atau pun orang lain. Percayalah, aku tidak perlu mendapatkan semua predikat itu dari mencontoh orang lain, aku mendapatkan semua itu justru darimu, ibu.
Aku ingat, ketika aku masih kecil dan sedang kau boncengkan dengan sepeda mini, kakiku terkena ruji sepeda. Kau langsung meminta obat merah di rumah terdekat lalu mengikat kakiku di sedel agar tidak terkena lagi. Aku tahu, kau akan selalu melindungiku.
Aku ingat, sejak kecil, dari SD kau selalu menyuruh kami, anak-anakmu yang tidak tahu diri ini mengerjakan pekerjaan pribadi seperti menyisir rambut, mencuci, menyetrika baju sendiri, dll. Aku tahu, dari itu kau mnegajari kami untuk mandiri.
Aku ingat, sejak kecil kau selalu memberi kami uang saku yang sangat pas-pasan, aku tidak bisa membedakan apakah kau ibu yang pelit atau terlalu berhemat. Katamu kami harus belajar hidup susah biar kalau suatu waktu kami jatuh miskin, kami tidak kaget. Uang saku teman-temanku hampir 2-3 kali lipat dari uang yang kau berikan untuk jajan, dan kau menerapkan peraturan ini sampai SMA. Aku tahu, dari kebiasaan itulah kau mengajariku untuk bisa menyisihkan uang, berhemat dan belajar menabung. Setelah lulus SD aku sudah mempunyai tabungan di Bank sendiri.
Aku ingat, kau selalu memaksaku untuk membantumu memasak di dapur, dan aku selalu mengeluh. Kau selalu bilang seorang wanita itu wajib bisa memasak, selain untuk kehidupan berkeluarga nanti, aku tidak perlu bergantung pada warung makan. Kau juga tidak menyukai adanya pembantu di rumah. Kau seperti berkata, ” Kalau kita bisa mengerjakan sendiri pekerjaan yang sepele, kenapa harus merepotkan orang lain?” Oh ya, jujur saja ya ibu, kadang aku tidak terlalu suka masakanmu, kau tidak sehebat Farah Quinn (padahal aku juga belum nyoba masakannya) dan itu menurun padaku sampe sekarang yang kurang ahli dalam masalah dapur. Tapi, sampe sekarang kering jengkolmu yang super pedas itu belum ada yang menandingi!
Aku ingat, sewaktu aku lulus SD, aku memutuskan untuk mengikuti kepercayaanmu. Kejadian itu membuat ayah sangat murka, yah dia memang kolot sekali waktu itu, semua anaknya harus mengikuti kepercayaannya. Mungkin aku lebih dekat denganmu sehingga aku selalu mencontoh apa yang kau lakukan. Seperti seorang laiki-laki yang terperangkap pada tubuh wanita, keyakinan itu sudah melekat pada diri sendiri, kita tidak bisa mengingkarinya, maka jadilah aku seorang mualaf. Lalu ayah mengancam tidak akan memperdulikanku lagi dan tidak akan membiayai hidupku lagi. Sikap kerasnya pun menurun padaku, aku tetap memilih jalan sepertimu, ibu. Dan aku sangat ingat apa yang kau katakan padaku, “Masih ada aku yang bisa membiayaimu.” Hampir tiga tahun hubunganku dengan ayah putus, masih dalam satu rumah, syukur waktu aku SMA dia bisa menerima perbedaan yang aku pilih. Aku tahu, kau akan selalu ada di sampingku, mendukungku, kau adalah benteng yang akan selalu melindungiku.
Aku ingat, sejak kecil aku mempunyai masalah dengan kendaraan umum, mabok kendaraan parah. Tapi kau mematahkannya dengan menyuruhku untuk membiasakannya. Mulai SMP aku sekolah di mana letaknya harus ditempuh dengan kendaraan umum, kau mengantarkanku ke tempat pemberhentian bis, menunjukkan bis yang benar, dan menyuruhku membawa plastik kalau sewaktu-waktu penyakitku itu kambuh. Awalnya agak parno juga karena mabok kendaraan itu benar-benar nggak enak tapi karena setiap hari aku mulai ritual naik kendaraan umum, mau nggak mau harus menjalaninya dan ajaibnya penyakitku itu tidak pernah kambuh selama sekolah (yah, kadang kambuh sih kalau kendaraanya bau dan ada orang mabuk juga disampingku). Aku tahu, kau mengajariku untuk mengatasi masalah apa pun, seberat apa pun itu.
Aku ingat, waktu pelajaran agama di kelas satu SMA, ada ujian membaca Al-Qur’an, tentu saja aku tidak bisa karena aku tidak pernah mengikuti TPA. Sepulangnya dari sekolah aku menagis dan mengadu padamu. Kau langsung meminta bantuan tetangga kita yang seorang guru agama untuk mengajariku mengaji. Setelah itu, setiap habis magrib aku belajar mengaji gratis padanya. Aku tahu, kau akan selalu ada untuk menolongku, kau akan melakukan apa pun untuk anak-anakmu.
Sejak kau pergi, keluarga ini keteteran. Tidak ada yang memasak untuk kami, tidak ada suara ceewetmu, tidak ada perintah-perintah yang selalu aku abaikan, tidak ada kulucuanmu, kekonyolanmu kalau menonton tivi, tidak ada dirimu disampingku.
Besar sekali efek yang kau tinggalkan ketika kau pergi. Ada kejadian yang kami alami dan terlihat sekali kalau kami sangat butuh kehadiranmu. Waktu itu kakak terserang Demam Berdarah, sangat sangat perlu diawasi keadaanya. Aku sudah memasuki bangku kuliah, adik tentu tidak mengerti apa-apa, hanya ada ayah yang tentu juga sibuk akan pekerjaanya. Ayah terlihat bingung dan kerepotan mengurus semuanya. Untungnya aku sedang praktek di rumah sakit yang sama sehingga bisa membantu mengurus kakak. Saking capeknya mengurus kakak yang sering minta di antar ke kamar mandi yang tak kenal waktu (dia disuruh minum yang banyak agar tidak dehidrasi dan dia tidak mau di pasang selang pipis), tentu itu menjadi tugasku karna kami sama-sama perempuan. Aku capek lahir batin, habis praktek langsung mengurus kakak, hampir tidak ada waktu istirahat, aku marah padanya, bilang kenapa harus sakit segala dan sangat itu sangat merepotkan. Dia langsung menagis, aku melihat ayah memalingkan muka dan diam saja. Tapi aku tahu, dia menahan tangis, dia tidak ingin terlihat lemah di mata anak-anaknya, dia harus kuat agar anak-anaknya juga kuat. Dan alhamdulillah Tuhan memang Maha Melihat, ada sepupu yang membantu kami.
Selain itu, efek yang kau tinggalkan pada diriku adalah aku gampang menagis, cengeng. Tiap lihat keharmonisan keluarga, kasih sayang ibu ke anaknya, acara-cara di tivi yang menjual air mata, sangat menyentil perasaanku. Bahkan dulu aku sempat berandai-andai kalau bisa melihat hantu, aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku selalu heran kenapa ada panti jompo, kalau untuk yang tidak mempunyai keluarga lagi aku sangat setuju tempat itu ada, lah kalau anak-anaknya masih utuh aku benar-benar mengutuknya! Apa susahnya sih mengurus mereka, toh mereka tidak merepotkan seperti kita masih bayi. Mereka tidak butuh apa-apa selain dekat dengan anak-anaknya. Jadi, sungguh disayangkan kalau mereka malah ingin jauh-jauh dari orang tua karena sudah mempunyai keluarga sendiri. Mungkin mereka harus mengalami, merasakan sendiri seperti aku, menyadari betapa sakitnya kehilangan orang tua. Sebelum terlambat, sering-seringlah menengok ibu, menelepon dia, menanyakan kabarnya setiap hari, peluk dia dan cium dia.
Walaupun sangat menyakitkan, ibu, kehilanganmu membuat aku menjadi lebih dewasa. Belajar menerima sesuatu yang buruk, mengurus rumah, lebih menyayangi ayah, kakak dan adik. Ayah sangat setia padamu, tapi aku juga tidak tahan melihat dia sendiri, seorang duda beda dengan janda, mereka tidak bisa mengurus diri sendiri, itu juga terlihat di diri ayah. Selain itu, aku juga jarang di rumah. Aku setuju ketika ayah ingin menikah lagi, sudah hampir setahun ini aku mempunyai ibu tiri dan syukur dia tidak sejahat ibu tiri-nya Cinderella atau yang terlihat di sinetron-sinetron. Dia tidak akan bisa menggantikanmu, tidak akan pernah. Tapi dia akan selalu ada ketika ayah membutuhkannya baik sehat atau sakit.
Apa lagi yang aku ingat lagi tentang dirimu? Senyum, marah, bawel, lucu, malu-maluin, menggurui, otoriter, rambutmu yang mulai memutih, kerutanmu, semua tentang dirimu akan selalu aku ingat, ibu.
Aku bisa mendapatkan ilmu dari pelajaran di sekolah, tapi aku mendapatkan pelajaran hidup darimu, ibu, ibu, ibu.
Dari anakmu yang sudah tumbuh dewasa :)
***


Tidak ada komentar:
Posting Komentar