Rabu, 04 Agustus 2010

Bukan bakat tetapi karena kemauan

Setiap orang selalu di anugerahi bakat yang tidak terduga oleh PenciptaNya. Apapun itu, pasti di sadari atau tidak akan menguntungkan bagi si manusianya sendiri.
Dan beruntunglah bagi mereka yang sejak di dalam perut sudah diberi bakat itu.

Tapi seiring perkembangan pemahaman saya, saya mengerti satu fakta, bahwa. Bakat memang menunjang seseorang untuk bisa berkreasi atas-dan sesuai bidang yang sudah menjadi bakat tersebut. Tetapi, itu tidaklah mutlak!


Bakat tidak berpengaruh 100%, terhadap seseorang untuk bisa menguasai suatu bidang tertentu. Apapun itu

Bakat, muncul secara alami dan tidak di sadari, namun bila dikembangkan, maka akan menghasilkan sesuatu yang besar dan berguna. Tapi bagaimana jika sebaliknya?
Seperti halnya pisau yang terlalu sering di pakai tanpa di asah sekali pun, maka lama kelamaan akan tumpul.

Secara tidak langsung begitulah, pemahaman bakat dalam definisi saya.
Jika Tuhan sudah menurunkan seseorang bakat yang luar biasa hebat, tetapi si invidu tersebut tidak mengolah, melatih, mengasah dan melestarikannya, maka sia-sialah semua itu.
Bakat itu tidak akan ada nilainya dan hasilnya adalah NOL!

Karena itulah saya katakan, bakat bukan faktor utama yang bisa membuat seseorang menguasai satu bidang tertentu. Tetapi yang nyata itu adalah, satu!
KEMAUAN!
 Pasti kita sering mendengar pepatah seperti ini "dimana ada kemauan di sana pasti ada jalan" dan sejatinya memang begitulah prosesnya.


Saya berani katakan ini, karena aslinya, saya bukan indvidu yang lahir dari bakat.


Saya menyukai dunia penulisan, juga lahir dari sebuah ketidaksengajaan dan keterbiasaan yang pada akhirnya, melalui itulah saya menemukan tempat dimana jiwa ingin berada, dan suatu hari ingin menjadi apa.

Seiring waktu proses itu semakin mantap, dan akhirnya membuat saya terus dan terus belajar lebih banyak lagi agar ke depannya bisa menghasilkan tulisan yang bukan hanya bisa menghibur tetapi juga mempunyai nilai-nilai positif.

Seiring waktu juga saya mempelajari banyak hal. Jika dahulu saya menulis, hanya tinggal menuangkan apa yang ingin saya sampaikan tanpa ada embel apa-apa (yang merepotkan), tetapi sekarang, melalui banyak hal yang saya lewati (termasuk penolakan demi penolakan terhadap karya-karya terbaik saya) menggerakkan otak saya untuk tidak hanya mengerti tetapi juga memahami, bahwa menulis pun ada etikanya dan juga ada trik-trik yang 'wajib' untuk menunjang  tulisan itu sendiri.

Sampai di sini saya pun semakin yakin, bila kita memang punya keinginan dan kemauan yang kuat untuk mengembangkan hal yang kita sukai dan cintai, maka ke depannya kita pun tidak akan kalah hebatnya dengan orang-orang yang memiliki bakat sejak lahir.

Terpenting dari itu semua adalah, kemauan untuk belajar dan melatih diri untuk mempersiapkan diri di bidang yang kita inginkan. Itulah kuncinya.
Jangan pernah berhenti belajar! Karena ilmu itu tidak ada habisnya.

Dan jangan terbayang-bayang pada satu kata yang kadang menghantui seseorang, 'bakat'...
Lupakan itu.
Abaikan saja.
Sekarang gerakkan dirimu seluas-luasnya. Jika kemauanmu besar untuk mencapai sesuatu tidak akan seorang pun yang bisa menghalangimu untuk mendapatkanya!

MERDEKA!!!!

salam
dil.se

My kenangan

Satu senyuman terukir untuk sebuah kenangan yang berlalu...

Entah bayangan apa yang tiba-tiba membawa saya pada realita dahulu, yang terendap, namun disadari atau tidak telah jadi bagian dalam perjalanan hidup saya. Yups. Setiap kenangan itu adalah bagian yang tidak akan bisa terpisah dari garis perjalanan seseorang.

Kembali senyuman itu terukir mana kala wajah yang pernah ikut memeriahkan suasana hari saya bersemarak, kehadirannya cukup dekat di sekitar, tetapi kadang saya tak pernah berpikir sampai sedalam ini.
Dan malam ini pikiran, saya biarkan merajalela dengan nostalgia lawas.

Lucu.
Geli.
Gemas.
ketika bayangan itu muncul
Menyeruak keluar dalam endapan lalu

Melihat sosoknya sekarang, terkadang tanpa sadar saya pernah memanjatkan doa untuknya, bagaimana pun yang dahulu terjadi, meski dengan setitik sakit yang tergores dan tertinggal, bagi saya, sampai detik dimana waktu berputar 'dia tetap spesial adanya'

Adanya, memiliki sebuah ruang yang tidak akan memudar, meski cipta rasa yang ada disana, wujudnya telah berubah... Tetap hadir dan tertinggal disana... Tak penting baginya, saya menjadi kepentingan yang nomor sekian, karena cipta rasa yang saya miliki adalah milik saya sendiri...

And now...
Memori itu tetap utuh saja terbungkus, dengan harapan di masa real kini. Now, keindahan lain saya dapatkan setelah melewati kenangan itu, dengan seseorang yang berbeda...

BERBEDA... Karena dia teramat ISTIMEWA....
Seseorang yang selama ini memberikan cerita baru dalam kehidupan saya dengan keikhlasannya dalam penantian...


salam
Dil.se

Don't leave me...

Mmmm.......
Ini adalah postingan lama saya di blog maupun akun facebook milik saya, tapi tidak ada salahnya kan untuk membaca ulang isinya, siapa tahu bisa menjadi inspirasi. :)

dini, begitu banyak cobaan-cobaan yang diturunkan ke bumi. entah itu dari segela macam bentuk bencana, kejahatan-kejahatan yang makin marak terjadi, sampai berbagai penyakit yang terdengar aneh di telinga, yang kemudian merebak dan menjadi 'trend' baru saat ini.

sebenarnya jika kita mau sedikit merenung, paling tidak mau membuka diri sajalah, bahwa hal-hal tersebut sebenarnya juga terjadi akibat ulah tangan kita sendiri.

tapi terkadang kita merasa angkuh untuk mengakuinya secara gamblang. hingga akhirnya terbesit dalam pikiran "Tuhan itu kejam"... padahal jika kita mau belajar untuk memaknai setiap kejadian, maka akan timbul satu kalimat baru bahwa 'hal itu adalah 'ajab' kecil, atau teguran halus untuk mengingatkan manusia yang sudah mulai lupa daratan. lupa akan kodratnya sebagai makhluk kerdil yang keberadaannya hanya 'titipan' sesaat.


sebenarnya ini bukan lagi topik baru, bukan juga 'teguran' lain yang baru booming... ini adalah 'lagu' lama sebuah tragedi.


Human Immunodeficiency Virus atau biasa kita tau HIV dan Acquired Immune Deficiency Syndrome yang kita kenal juga dengan nama AIDS!



dari buku yang pernah saya baca, pertama kali virus itu muncul di Amerika Serikat pada tahun 1980, tepatnya si San Fransisco.

virus itu pertama kali di bawa oleh kaum homoseksual, yang kemudian menyebar ke kalangan masyarakat umum.penyebarannya sangat cepat sekali 1 menit 5 orang tertular!

nah, bayangkan jika misalnya dalam waktu 1 jam? 60X5 = 300 (orang)
jika 1 hari ? 1440X5 = 7200 (orang)
gimana jika 2, 3 atau setahun? 

dan berapa penderita yang terjangkit sejak tahun 1980 sampai dengan 2009 ini, jika perhitungan seperti itu yang kita gunakan?
cukup untuk membuat satu peradaban. 


tahun 1987, bibit itu sampai juga 'merantau' ke Indonesia tercinta dan beberapa negara lainnya, hingga sekarang.

perkiraan, di tahun 2001 angka penderita HIV/AIDS di Indonesia dapat mencapai 2.5 juta orang! itu baru TAHUN 2001, lalu bagaimana dengan sekarang?


terlepas dari itu semua, sebenarnya hal yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, bukan tentang bagaimana si virus menyebar, tetapi tentang ODA itu sendiri.  

sempat saya melakukan survei ke beberapa teman, satu dari beberapa pertanyaan yang saya ajukan itu adalah....:
"bagaimana menurut anda tentang orang yang positif HIV dan bagaimana jika itu terjadi dengan orang yang ada di dekat anda...?


jawaban yang saya terima pun bervariasi modelnya; ada yang memilih tidak memberikan komentar, ada yang langsung ngacir setelah itu (hehe), tapi juga tidak sedikit yang memberikan komentar.


jujur saja, tanggapan sebagain besar orang pada ODHA pasti hal menjurus padfa hal yang negatif, karena penyebab datangnya virus itu sendiri juga identik dengan hal-hal yang berbau negatif: seperti narkoba, seks bebas. 

tapi pernah kah kita berpikir, atau paling tidak membuka dari sudut pandang yang berbeda, bahwa tidak semua orang yang terjangkit itu memiliki latar belakang yang buruk, seperti yang disebutkan di atas?
satu contoh, misalnya dari sebuah kecelakaan.

jika kita dihjadapkan pada situasi yang mengharuskan kita berada satu lingkungan dengan seorang ODHA,  maka secara otomatis kita akan bergerak menjauh.alasannya, tentu saja karena takut terjangkit!

pada satu sisi, itu reaksi wajar, tetapi sebagai manusia yang berpikir dan mengetahui sains. tentunya kita tahu, bahwa penularan virus HIV sendiri mempunyai spesifikasi-spesifikasi tertentu. tidak menular begitu saja.
namun, pada kenyataannya, diskriminasi terhadap ODHA masih saja tetap terjadi, yang kita lakukan dalam keadaan sadar maupun tidak. 



sejauh mata memandang, yang berhasil kita lihat melalui kacamata pribadi, memang selalu hal-hal yang buruk, tapi seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa cobalah kita melihat dari sudut pandang yang berbeda.

katakanlah, 'mereka' terjangkit memang akibat ulah 'mereka' sendiri, buah simalakama atas perbuatan yang mereka lakukan (apapun itu)

tapi, bisakah kita sedikit mengesampingkan dulu penyebabnya dengan mulai membuka dan melihat dari sudut pandang yang lain. dengan tidak menghakimi mereka dari masa lalu, dan membuat keberadaan kita menjadi momok bagi 'mereka' untuk kuat dan bertahan.

ketika kita membentang pintu diskriminasi lebar-lebar, sebenarnya kita bukan hanya membuat 'mereka' putus asa, tapi secara tidak langsung juga memenggal harapan 'mereka' hidup-hidup.


hal yang kta lakukan mungkin kecil, tapi saya yakin, pasti dampaknya akan sangat besar bagi 'mereka'
kembali lagi,
 tidak pernah ada yang ingin dirinya terjangkiti virus ini,  sekali pun mereka adalah orang-orang yang berada sangat dekat dengan kemungkinan-kemungkinan terjangkit.



merentangkan tangan untuk mereka, artinya memberikan kehidupan baru yang sangat berarti,
menjadikan motivasi berharga.

semoga tulisan ini bisa membuka wacana kita untuk sama-sama belajar dari yang sudah-sudah, bahwa, setiap saat virus itu akan terus menghantui, dan kita harus waspada terhadap virusnya, DAN BUKAN TERHADAP PENDERITANYA!

salam
dil.se


*sumber: Global effect HIV/AIDS Dimensi Psikoreligi by Prof. DR. dr. H. Dadang Hawari.

What's going on... for they?

"......."


"......."

Duduk saya di depan pintu sore itu sambil menghabiskan isi dalam piring. Cuaca tidak panas, juga tidak terlihat mendung, benar-benar suasana sejuk yang menyamankan hawa gerah setelah seharian bergelut di atas kasur. Suapan demi suapan ikut mengajak pikiran saya berkelana kemana-mana.


Dalam semilir hawa yang meniupkan angin itu, sesekali saya memandangi ke atas langit, sejenak saya merasa benar-benar kesepian.


Sepi yang kemudian mengawangkan pikiran saya ke sebuah pulau diseberang sana. Dimana ketika saya di tempat itu, dalam waktu yang sama ini, yang saya lakukan adalah duduk di depan kasir melayani pembeli yang berbelanja di toko saya, sekejab kerinduan menelusup masuk, bukan hanya pada aktifitas itu, tetapi juga dengan mereka yang saya tinggalkan.


Otak saya pun kemudian berbicara, "pasti sekarang mama lagi ngasir." sebuah senyum lirih saya hadirkan untuk angin yang terus menerpakan kesejukan ke tubuh.


Saya ajak kembali pikiran yang berkelana tadi untuk menemui raganya. Saya masukan suapan terakhir ke mulut, maka selesailah saya menjalankan tugas mengisi perut. Tapi selepas itu, saya enggan untuk beranjak dari depan pintu. Saya biarkan pikiran saya menyatu sejenak dengan heningnya alam sore.


Lagi-lagi tiupan angin itu kembali mengajak saya bermain-main, saya pun kemudian larut dalam lamunan senyap, melenakan diri memandang langit.


"kenapa saya di sini?" pertanyaan itu tiba-tiba menggema dalam otak.

Beberapa saat pertanyaan itu hanya mengambang tanpa jawab.

Sampai akhirnya suara hati kecil saya berbisik, menegur dengan peringatan halus.

Sesaat saya merasa seperti anak yang tidak tahu diri. Sementara di sini bersantai, orang tua saya menguras tenaga yang telah menua untuk saya, demi melihat keinginan saya melanjutkan studi di luar kota terwujud. Jika pun itu adalah tanggung jawab bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, tapi berflashback dari yang sudah-sudah.


Saya begitu kejam memaksakan mereka mengeluarkan biaya lagi, saya ulangi, BiAYA LAGI untuk kuliah again. Tidakkah saya sekeji perampok...????


bayangan bapak saya yang bertubuh kurus dengan sebagian kulit mulai legam terserang sinat matahari, mengaburkan pandangan saya. tidakkah wajah setua itu harusnya duduk di rumah, bersantai dengan secangkir teh (tanpa harus ada puyer sakit kepala yang rutin dijajalnya). bukankah beliau harusnya menikmati masa tua dengan melihat satu per satu anaknya yang mulai dapat berdiri sendiri tanpa lagi harus ditanggung jawabi oleh si bungsu ini lagi?
bukankah beliau tak harus lagi ikut antri dalam jejeran panjang nasahab bank untuk setoran penjualan toko. atau bisakah beliau duduk tenangsaja di rumah, tanpa harus pergi mengurus ini dan itu... ?
dan banyak bukankah harusnya beliau lain yang sekejab menorehkan rasa nyeri di ulu hati saya.


kemudian, perempuanberkerudung yang meski usianya menjelang 50 tetap gesit melakukan pekerjaannya dalam dua tempat sekaligus. di toko dan dapur .. tidakkah harusnya beliau juga hanya menguras suaminya? duduk bersebelahan, menikmati setiap santapan makan siang, malam bersama-sama?


tidakkah mereka seharusnya tidur dengan ketenangan hati, ketika malam menjelang, tanpa harus memikirkan apakah si bungsu ini sudah tidur dengan perut kenyang di rantauan sana.

jatuh air mata saya dengan semua TIDAKKAH dan HARUSNYA yang tidak bisa mereka nikmati seharusnya saat ini! andai kata, saat ini saya tak lagi melanjutkan sekolah, mungkin sekarang beban mereka ringan, karena bungsu telah mencoba hidup dari hasil keringat sendiri.

tapi setiap jalan dan keputusan pasti ada sisi yang di korbankan!

lantas, terbesit dalam benak saya, adakah sesuatu yang telah saya lakukan untuk memunculkan kebanggan di hati mereka?

tidak. tidak ada.
padahal dalam setiap doa. saya selalu ingin membanggakan mereka.


mungkin bagi para orangtua, melihat anak mereka tumbuh dengan baik adalah sebuah kebanggan tersendiri karerna didikan mereka telah berhasil!

dalam jerit hati ini, kemudian timbul perasaan ingin kembali untuk mereka, untuk semua yang tidak mereka dapatkan jika saya berada di sini. menggantikan kebanggaan yang belum bisa diberikan dengan kalimat meringankan beban mereka.



tapi, bukankah jika saya kembali saat ini, itu justru hanya akan menghancurkan keoptimisan mereka terhadap saya. sejauh ini sudah saya berjalan... bila hasilnya juga sia-sia... bukan meringankan yang saya berikan, tapi kekecewaan total yang mengenaskan.

tidak. saya tidak inginkan hal itu... saya ingin melihat mereka tersenyum suatu harti nanti, dalam bentuk dan versi apapun!

maka kemudian, keteguhan saya semakin membumbung tidak akan pulang dalam kehampaan. melihat si bungsu ini mengenakan toga suatu hari nanti, adalah kebanggan dalam wujud lain yang bisa saya berikan.

semoga mereka diberikan umur panjang, hingga suatu saat nanti mereka kan tersenyum dengan kebanggaan sempurna yang saya berikan dalam bentuk dan versi apapun!

amin!

salam

dil.se